Wednesday, 16 April 2014

CERPEN : Saat senja membawamu pergi


Sore diguyur gerimis hari ini, menghilangkan jejak-jejak senja yang malang, menghapus sajak-sajak matahari dipelupuk mata. Juga menghapus jejak orang-orang yang mengantar jenazahmu ke tempat peristirahatan terakhir. Pun begitu, tak ada yang bisa menghapus jejak-jejak tangis di mataku. Mataku masih sembab, juga masih mengalirkan airmata.
Aku terduduk lemas disamping pusaramu dan membiarkan orang-orang meninggalkanku sendirian di tempat pemakaman umum ini. Kupandangi namamu yang tertulis diatas nisan, untuk beberapa saat mataku tak berkedip menatapnya, seakan ingin merekam semua kisah yang ikut terpahat bersama namamu.
Dulu, kupikir aku tak membutuhkanmu, selalu sebal dengan ocehan-ocehanmu saat menasihatiku. Masih teringat jelas dalam benakku, bagaimana semburan ludahmu mengenai wajahku saat aku malas berangkat ke langgar. “Aku meludahi syetan yang ada dalam dirimu,” engkau menjelaskan padaku dengan muka masam. Aku hanya bergerundel dalam hati waktu itu, mengabaikan ocehan-ocehanmu tentang pentingnya belajar ngaji sejak dini.
Aku juga ingat, saat kuceritakan bahwa aku seringkali tak bisa tidur nyenyak di malam hari, kau malah menertawaiku, “itu karna kau sering tak shalat isya’, kau harus sadar, ilmumu sedang menggugatmu win,” katamu seolah-olah kau ahli agama, lalu kau kembali terkekeh. Jika kau tahu, aku jengkel sekali waktu itu.   
Dan kali ini, saat engkau tak disisiku lagi, baru kumengerti, aku begitu membutuhkanmu, aku merindukan ocehanmu, merindukan saat-saat kau menertawai kebodohanku, merindukan setiap hal yang kulakukan bersamamu.
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi nisanmu diam saja. Kupeluk erat-erat nisanmu, menciuminya berkali-kali tapi tak sedikitpun kau berbalik menciumku. Suara parauku memanggil-mangil namamu, namun sahutanmu tak kunjung kudengar. Kudekap lebih erat nisanmu, membayangkan aku sedang memelukmu. Dadaku terasa sesak, napasku tersengal-sengal. Airmataku mengalir seakan tak ada habisnya. Bukan, bukan karena aku tak mengikhlaskan kepergianmu, aku hanya merindukanmu, itu saja.
Jika saja waktu  dapat ku putar, akan segera kuputar ia pada saat dimana engkau masih dapat kurengkuh dalam penglihatanku. Saat masih bisa kucium dan kudekap engkau erat-erat dalam nyata. Ingin sekali rasanya aku menangis dalam pelukmu, melingkarkan lengan ini pada tubuhmu yang kurus seperti bunga layu.
Ingin sekali bermanja-manja menyandarkan kepalaku di pundakmu, seperti waktu itu: Aku bersandar di pundak kananmu, lengan kiriku kulingkarkan pada pinggangmu. Tangan kirimu mengelus rambutku dengan lembut dan sesekali mengusap airmata dipipiku. “tidak ada lelaki yang memuliakan wanita, kecuali laki-laki mulia, nak. Dan yang menghina wanita, itu pastilah laki-laki hina. Sudahlah, tak usah kau tangisi laki-laki seperti itu. Juga tak usah menyimpan dendam padanya, sebab itu sama saja dengan kau meracuni hatimu sendiri.” Aku hanya mampu menangis waktu itu. Sejenak kemudian kau melingkarkan dua tanganmu pada tubuhku, aku membalas dengan memelukmu lebih erat. Damai sekali rasanya berada dalam pelukanmu. Seketika itu pula beban-beban di pundakku terasa menghilang, entah angin apa yang membawanya pergi.
Kupilih bunga-bunga cempaka di sekitar makam, hendak kutaburkan di atas pusaramu. Ku amati ada lima pohon kamboja tumbuh berdekatan dengan makammu. Kuhampiri satu-persatu, memilih bunga-bunga cempaka yang berjatuhan di sekelilingnya. Setelah kurasa cukup banyak, ku dekati lagi pusaramu, menaburkan bunga-bunga sembari komat-kamit mulutku merafalkan fatihah atasmu.
“ibu, semoga kau tenang di alam sana. Ku saksikan bahwa engkau telah bertanggung jawab terhadap syahadat Tuhan dan Rasulmu di sepanjang hidupmu. Kau penuhi seruan Tuhan, menjauhi laranganNya, juga senantiasa berbuat baik kepada sesama. Engkau ibu terbaik di dunia ini, guru pertama yang mengenalkanku pada Tuhan. Semoga munkar dan nakir menyambutmu dengan kasih sayang tiada batas.”
Tangisku kembali pecah. Terbata ku selesaikan doa-doa terbaik yang bisa ku panjatkan untukmu.
“Memang tak cukup rasanya hadiah doa ini bila kusebut sebagai balas budiku terhadapmu, Bu. Benar-benar tak cukup jika ku bandingkan dengan segala hal yang telah kau berikan padaku. Bu, doa ini bukan apa-apa, dan selamanya takkan menjadi apa-apa. Tetapi percayalah, aku mencintaimu dengan cinta yang tak dapat ku sematkan pada siapapun selainmu di dunia ini. Dulu, engkau perempuan teristimewa dihatiku, sekarang engkau istimewa, dan selanjutnya engkau akan tetap istimewa...”.
Hari semakin gelap, sudah waktunya mentari merapat ke belahan bumi yang lain. Kurasakan gigil angin menelusup ke pori-pori hingga sumsum tulangku. Pakaianku basah kuyup, kulihat tanganku pucat pasi, entah bagaimana dengan wajahku. Tiba-tiba seperti ada sesuatu berputar-putar di atas kepalaku, pening. Aku tak bisa menggerakkan tanganku, berat sekali rasanya. Kugerakkan kedua kakiku hendak bangkit, tapi rasanya lemas sekali. Aku mencoba memanggil namamu bu, tapi aku tak bisa mendengar suaraku sendiri. Entah karena pita suaraku sedang bermasalah atau karena telingaku tiba-tiba menjadi tuli. Berkali-kali kucoba bangkit, namun berkali-kali pula tubuhku terhuyung-huyung.  Beruntunglah setelah lama gagal, aku berhasil bangkit dari dudukku. Namun aku malah tak bisa melihat sekelilingku, gelap. aku tidak dapat melihat apa-apa bu. Aku terjatuh, limbung.


*04 Maret 2014, Laila haqy.


No comments:

Post a Comment