Sore
diguyur gerimis hari ini, menghilangkan jejak-jejak senja yang malang,
menghapus sajak-sajak matahari dipelupuk mata. Juga menghapus jejak orang-orang
yang mengantar jenazahmu ke tempat peristirahatan terakhir. Pun begitu, tak ada
yang bisa menghapus jejak-jejak tangis di mataku. Mataku masih sembab, juga
masih mengalirkan airmata.
Aku
terduduk lemas disamping pusaramu dan membiarkan orang-orang meninggalkanku
sendirian di tempat pemakaman umum ini. Kupandangi namamu yang tertulis diatas
nisan, untuk beberapa saat mataku tak berkedip menatapnya, seakan ingin merekam
semua kisah yang ikut terpahat bersama namamu.
Dulu,
kupikir aku tak membutuhkanmu, selalu sebal dengan ocehan-ocehanmu saat
menasihatiku. Masih teringat jelas dalam benakku, bagaimana semburan ludahmu
mengenai wajahku saat aku malas berangkat ke langgar. “Aku meludahi syetan yang ada dalam dirimu,” engkau
menjelaskan padaku dengan muka masam. Aku hanya bergerundel dalam hati waktu
itu, mengabaikan ocehan-ocehanmu tentang pentingnya belajar ngaji sejak dini.
Aku
juga ingat, saat kuceritakan bahwa aku seringkali tak bisa tidur nyenyak di
malam hari, kau malah menertawaiku, “itu karna kau sering tak shalat isya’, kau
harus sadar, ilmumu sedang menggugatmu win,”
katamu seolah-olah kau ahli agama, lalu kau kembali terkekeh. Jika kau tahu,
aku jengkel sekali waktu itu.
Dan
kali ini, saat engkau tak disisiku lagi, baru kumengerti, aku begitu
membutuhkanmu, aku merindukan ocehanmu, merindukan saat-saat kau menertawai
kebodohanku, merindukan setiap hal yang kulakukan bersamamu.
Aku
menangis sejadi-jadinya, tapi nisanmu diam saja. Kupeluk erat-erat nisanmu,
menciuminya berkali-kali tapi tak sedikitpun kau berbalik menciumku. Suara
parauku memanggil-mangil namamu, namun sahutanmu tak kunjung kudengar. Kudekap
lebih erat nisanmu, membayangkan aku sedang memelukmu. Dadaku terasa sesak,
napasku tersengal-sengal. Airmataku mengalir seakan tak ada habisnya. Bukan,
bukan karena aku tak mengikhlaskan kepergianmu, aku hanya merindukanmu, itu
saja.
Jika
saja waktu dapat ku putar, akan segera
kuputar ia pada saat dimana engkau masih dapat kurengkuh dalam penglihatanku.
Saat masih bisa kucium dan kudekap engkau erat-erat dalam nyata. Ingin sekali
rasanya aku menangis dalam pelukmu, melingkarkan lengan ini pada tubuhmu yang
kurus seperti bunga layu.
Ingin
sekali bermanja-manja menyandarkan kepalaku di pundakmu, seperti waktu itu: Aku
bersandar di pundak kananmu, lengan kiriku kulingkarkan pada pinggangmu. Tangan
kirimu mengelus rambutku dengan lembut dan sesekali mengusap airmata dipipiku.
“tidak ada lelaki yang memuliakan wanita, kecuali laki-laki mulia, nak. Dan
yang menghina wanita, itu pastilah laki-laki hina. Sudahlah, tak usah kau
tangisi laki-laki seperti itu. Juga tak usah menyimpan dendam padanya, sebab
itu sama saja dengan kau meracuni hatimu sendiri.” Aku hanya mampu menangis
waktu itu. Sejenak kemudian kau melingkarkan dua tanganmu pada tubuhku, aku
membalas dengan memelukmu lebih erat. Damai sekali rasanya berada dalam
pelukanmu. Seketika itu pula beban-beban di pundakku terasa menghilang, entah angin
apa yang membawanya pergi.
Kupilih
bunga-bunga cempaka di sekitar makam, hendak kutaburkan di atas pusaramu. Ku
amati ada lima pohon kamboja tumbuh berdekatan dengan makammu. Kuhampiri
satu-persatu, memilih bunga-bunga cempaka yang berjatuhan di sekelilingnya.
Setelah kurasa cukup banyak, ku dekati lagi pusaramu, menaburkan bunga-bunga
sembari komat-kamit mulutku merafalkan fatihah atasmu.
“ibu,
semoga kau tenang di alam sana. Ku saksikan bahwa engkau telah bertanggung
jawab terhadap syahadat Tuhan dan Rasulmu di sepanjang hidupmu. Kau penuhi
seruan Tuhan, menjauhi laranganNya, juga senantiasa berbuat baik kepada sesama.
Engkau ibu terbaik di dunia ini, guru pertama yang mengenalkanku pada Tuhan.
Semoga munkar dan nakir menyambutmu dengan kasih sayang tiada batas.”
Tangisku
kembali pecah. Terbata ku selesaikan doa-doa terbaik yang bisa ku panjatkan
untukmu.
“Memang
tak cukup rasanya hadiah doa ini bila kusebut sebagai balas budiku terhadapmu, Bu. Benar-benar tak cukup jika ku bandingkan dengan segala hal yang telah kau
berikan padaku. Bu, doa ini bukan apa-apa, dan selamanya takkan menjadi
apa-apa. Tetapi percayalah, aku mencintaimu dengan cinta yang tak dapat ku
sematkan pada siapapun selainmu di dunia ini. Dulu, engkau perempuan
teristimewa dihatiku, sekarang engkau istimewa, dan selanjutnya engkau akan
tetap istimewa...”.
Hari
semakin gelap, sudah waktunya mentari merapat ke belahan bumi yang lain. Kurasakan
gigil angin menelusup ke pori-pori hingga sumsum tulangku. Pakaianku basah
kuyup, kulihat tanganku pucat pasi, entah bagaimana dengan wajahku. Tiba-tiba
seperti ada sesuatu berputar-putar di atas kepalaku, pening. Aku tak bisa
menggerakkan tanganku, berat sekali rasanya. Kugerakkan kedua kakiku hendak
bangkit, tapi rasanya lemas sekali. Aku mencoba memanggil namamu bu, tapi aku
tak bisa mendengar suaraku sendiri. Entah karena pita suaraku sedang bermasalah
atau karena telingaku tiba-tiba menjadi tuli. Berkali-kali kucoba bangkit,
namun berkali-kali pula tubuhku terhuyung-huyung. Beruntunglah setelah lama gagal, aku berhasil
bangkit dari dudukku. Namun aku malah tak bisa melihat sekelilingku, gelap. aku
tidak dapat melihat apa-apa bu. Aku terjatuh, limbung.
*04 Maret 2014, Laila haqy.
No comments:
Post a Comment